Jumat, 15 Mei 2009

Paradigma Pembangunan

Paradigma Pembangunan
Dalam Perspektif Taxonomis Dualisme Sosiologis


Pendahuluan

Secara umum, di Indonesia istilah pembangunan dapat diartikan sebagai usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat dan warganya. Seringkali kemajuan yang dimaksud terutama adalah kemajuan material. Maka pembangunan diartikan sebagai kemajuan yang dicapai oleh sebuah masyarakat dibidang ekonom. Meskipun sebenarnya makna pembnagunan lebih dari itu.
Untuk memahami makna pembangunan, dalam kajiannya terdapat dua pendekatan yaitu pendekatan dari perspektif Diachronis dan pendekatan dari perspektif Taxonomis. Dalam pendekatan diachronis, dibahas berbagai paradigma pembangunan berdasarkan urutan-urutan terbentuknya atau perkembangan sejarahnya. Kemudian dalam pendekatan taxonomis, kategori paradigma pembangunan didasarkan pada dikhotomi equilibrium dan konflik.
Berdasarkan wawasan tentang hakekat masyarakat dan perubahan social, ada pandangan tentang masyarakat dan perubahan social sebagai suatu proses yang selalu berada dalam keadaan equilibrium dan adapula pandangan yang melihat masyarakat dan perubahan social sebagai suatu proses konflik yang langgeng. Berdasarkan hal itu, paradigma pembangunan dapat dibedakan dalam dua kategori yaitu paradigma equilibrium dan paradigma konflik.
Paradigma equilibrium terdiri dari empat sub kategori, yaitu paradigma behavioralis, paradigma psikodinamis, paradigma disfungsionalis, dan paradigma dualisme sosiologis. Paradigma dualisme sosiologis, mencoba mencari factor penyebab keberhasilan dan kegagalan dari pembangunan berdasarkan factor eksternal individual atau factor hubungan dalam masyarakat. Hal ini karena biasanya di dalam suatu masyarakat terdapat beberapa golongan dan lapisan masyarakat yang memiliki kepentingan masing-masing sehingga mepengarruhi proses dalam pembangunan itu sendiri.


Perspektif Dualisme Sosiologis

H J Boeke, seorang mantan pegawai pemerintahan Belanda, dalam bukunya Economics and Economics Policy of Dual Societies, mengangkat teori ini dari pengalaman hidupnya negara Indonesia, yang selanjutnya teori ini digeneralisirkan dan dianggap berlaku bagi setiap negara berkembang.
Teori ini lahir karena adanya kegagalan pelaksanaan Etische Politie / politik balas budi (edukasi, irigasi, kolonialisasi) di Hindia Belanda, pada masa itu masyarakat tradisional menurut para ahli bersifat Homogen dalam hal sistem sosial, ini adalah sebuah kesalahan besar, karena masyarakat tradisional timur secara sosiologis bersifat dualistis, hal ini terjadi karena adanya perbenturan (clash) antara sistem sosial tradisional dengan sistem sosial asing, terutama sistem sosial kapitalis. Masuknya sistem sosial dalam masyarakat tradisional akan mengakibatkan terjadinya masyarakat dualisme sosiologis.
Sistem ini merupakan sistem yang langgeng (lasting formation ), Artinya enclave kapitalis tetap jadi kapitalis, dan masyarakat trradisional yang ada di sekitarnya tidak akan berubah. Hal ini terjadi karena semakin berbedanya ciri-ciri masyarakat tersebut., dan bisa jadi apa yang menguntungkan bagi masyarakat yang satu bisa menjadikan sebuah kerugian bagi masyarakat lainnya..
Adapun masyarakat tradisional/ pra kapitalis memiliki ciri-ciri antara lain sebagai berikut:
1. kebutuhan hidupnya terbatas
2. tidak mempunyai keberanian untuk mengambil resiko
3. menolak kapital dan menolak investasi kapital
4. semangat kewirausahaan yang lemah
5. kurang mempunai kemampuan mengorganisir dan kurang disiplin
6. pasrah pada nasib
7. kurang ada mobilitas tenaga kerja
8. kurang mampu menunda kenikmatan
Sedangkan ciri-ciri masayarakat kapitalis adalah kebalikan dari yang diatas, sehingga suatu ketidakmungkinan menurut Boeke terjadinya penetrasian dari kedua tipe masyarakat tersebut.
Tetapi meskipun Boeke mengatakan bahwa sistem sosial tersebut tidak bisa digabungkan, dia berpendapat bahwa terdapat suatu jurang besar antara sistem ekonomi petani kecil di desa-desa dan sistem ekonomi yang diatur orang barat di perkebunan-perkebunan dan perdagangan. Sisten masyarakat tradisional ini dihancurkan oleh sistem ekonomi barat. Inilah yang menyebabkan terhambatnya perkembangan negara-negara berkembang.
Kritik dari Guru Besar dari Belanda tersebut memang sulit untuk ditolak, Koentjaraningrat, seorang Antropolog dari UI bahkan menegaskan bahwa terhalangnya proses kemajuan ekonomi di Indonesia sebagian disebabkan karena adanya rintangan-rintangan yang bersal dari Mental masyarakat Indonesia itu sendiri. Koentjaraningrat mengemukakan bahwa mental tersebut menyangkut sistem nilai budaya (cultural value) dan sikap (attitudes).
Jika dikaitkan dengan teori paradigma ekuilibrium (keseimbangan), teori menyatakan bahwa hubungan sosial menguntungkan sistem, ketimpangan sosial adalah suatu kebutuhan sosial, dan keragaman kepentingan adalah untuk mempersatukan. Seharusnya terdapatnya dua sistem sosial yang berada dalam satu kawasan akan melakukan percaturan sistem, mengisi satu sama lain dan menghasilkan suatu sistem yang terbaik.

Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sebenarnya terdapat dualisme sosliologis dalam masyarakat. Hal ini karena meskipun telah terjadi interaksi yang kuat antara golongan masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain, namun kedua golongan tetap berusaha mempertahankan identitas golongan masing-masing sehingga tidak terjadi penyatuan identitas atau meleburnya salah satu identitas golongan menjadi golongan yang lain. Apabila kedua golongan tersebut memiliki daya yang sama kuatnya maka yang terjadi justru persaingan kepentingan diantara kedua golongan.
Setiap persaingan kepentingan dalam masyarakat, pastilah akan membawa pengaruh yang besar terhadap pembangunan di daerah dimana terjadi persaingan tersebut. Karena setiap terjadi pembangunan yang sifatnya fisik pasti akan memunculkan pihak yang dirugikan dan diuntungkan. Sebagai contoh, pembangunan suatu pusat perbelanjaan (supermarket) disatu sisi menguntungkan masyarakat yang berjiwa sedikit modern atau kapitalis. Tetapi disisi lain ternyata masyarakat tradisional merasa dirugikan karena sering yang terjadi pembangunan supermarket tersebut dilakukan di pasar-pasar tradisional sehingga menggusur para pedagang-pedagang tradisional.
Oleh karena itu, gagal atau berhasilnya sebuah pembangunan di suatu daerah tidak terlepas dari pengaruh adanya golongan-golongan tertentu dalam masyarakat. Jadi dapat disimpulkan bahwa pembangunan dalam perspektif dualisme sosiologis adalah bagaimana upaya dalam memajukan masyarakat untuk menjadi lebih baik dengan mempertimbangkan setiap kepentingan golongan yang ada dalam masyarakat. Artinya pembangunan akan dapat bejalan jika terjadi kesepakatan antara golongan yang satu dengan golongan yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar